Seni lukis pasir semula berkembang di sebelah barat daya Amerika, oleh penduduk yang dikenal dengan sebutan “Navajo” (1800- ). Sampai saat ini, penduduk Navajo masih mempraktekkan seni lukis ini karena konon, praktek melukis dengan pasir dipercaya mampu mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan sakit penyakit. Sandpainting kala itu dikenal juga dengan sebutan drypainting karena media yang digunakan harus kering betul.Sandpainting juga lazim dipakai para biksu Tibetan, Suku Aborigin Australia dan masyarakat Amerika Latin pada acara-acara tertentu, sejak lama.

Uniknya, seni ini terus berkembang dan makin menarik perhatian tidak hanya pelaku seni, tetapi juga masyarakat awam. Di Indonesia sendiri, sandpaintingdikembangkan dengan apik dalam seni pewayangan. Adalah bapak Fauzan, sang dalang perintis pewayangan dengan media gelas/kaca dan pasir. Dari sumber yang saya baca, bapak Fauzan masih satu-satunya dalang wayang pasir di Tanah Air, bahkan se Asia Tenggara. Kiprah bapak alumnus Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) ini banyak membuat orang berdecak kagum.
Bagaimana bentuk pementasan Pewayangan Pasir?
Berbeda dari pewayangan boneka (puppets) yang kental dengan cerita dalam lakon boneka wayang, pertunjukan pewayangan pasir menuntut dalang tidak hanya pintar bercerita, tetapi cekatan melukis ‘wayang’nya dengan pasir diatas media gelas. Diiringi musik, dalang akan bercerita dan membuat goresan dengan jari-jari tangannya di atas wadah bening berisi serbuk pasir halus. Semakin lama goresannya terlihat jelas menjadi gambar yang ingin disampaikan. Penonton akan menyaksikan pewayangan lewat layar yang diproyeksikan dari wadah bening pasir dalang.
Kala menyaksikan pewayangan pasir, tak hentinya saya ber-woooww—waaaawww takjub. Asli Keren. Dalam film “Malaikat tanpa Sayap” besutan Rako Prijanto, kita bisa melihat sekilas performa seni wayang pasir ini. Cek pewayangannya dibawah ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar